May 21, 2008

Ketegaran Dokter Lara

Ini salah satu novel Mira W yang bagus. Saya baca novel ini sudah bertahun-tahun lalu, tapi sampai sekarang masih ingat inti ceritanya (beberapa detilnya sih mungkin sudah lupa).

Berkisah tentang seorang dokter wanita (atau calon dokter) bernama Lara, yang mempunyai adik kembar (Lina) yang sakit-sakitan sejak kecil. Kondisi sang adik mau gak mau membuat semua orang mengistimewakan dia, memanjakan, dan menuruti hampir semua kemauannya sebagai tanda sayang. Bisa dimaklumi sih. Ini tipikal banget kan.

Sampai suatu saat, Lara maupun sang adik jatuh cinta pada lelaki yang sama. Sampai di sini, tidak aneh kalau Lara bersedia mengalah untuk adiknya, ya?

Tragisnya, si lelaki ini hanya mencintai Lara, dan emoh disuruh mengoper cintanya kepada si adik (setidaknya pada awalnya). Di sinilah konflik terjadi. Ini bagian yang sangat menyentuh, waktu Lara harus mendorong-dorong dan meyakinkan sang kekasih untuk berpaling kepada wanita lain (padahal Lara sendiri masih mencintai kekasihnya tsb).Lebih sedih lagi, semua anggota keluarga berpihak kepada si adik, membuat Lara seolah harus berjuang sendiri.

Ending novel ini mengharukan banget. Dari awal sampai hampir akhir novel, selalu dipertentangkan antara lemahnya sang adik dengan sempurnanya sang kakak. Tapi di bagian akhir, baru dibuka kenyataan yang mengejutkan semua orang. Ternyata... Lara selama ini juga sakit parah, lebih parah daripada adiknya. :( .

Menurut saya, cerita ini agak-agak mirip dengan novelnya Jodi Picoult, My Sister Keeper, dalam hal betapa sulitnya orangtua untuk tidak pilih kasih, kalau salah satu anak mereka lebih lemah daripada anak yang lain. Teorinya sih memang harusnya orangtua tidak boleh lebih sayang pada anak tertentu daripada anak-anak yang lain. Tapi apa boleh buat, orangtua juga manusia biasa kan....

Novel ini sudah pernah dibuat sinetron dengan judul Cinta Dara Kembar, dengan pemain Fitri Handayani (sebagai dokter Lara maupun Lina).

Judul novel: Jangan Pergi, Lara karya Mira. W.

...

Tulisan yang sama juga diposting di Sonata8.

Jangan Merusak Pintunya, Temukan Kuncinya

Awalnya saya sih rada skeptis waktu disodori buku ini. Saya pikir waaahh.. buku ttg NLP pasti isinya lebih ke arah falsafah daripada hal-hal praktis.

Tapi setelah dibaca, saya mendapati teori ini cukup praktis untuk dipelajari. Berbeda dengan buku pertama Bpk Wiwoho yaitu Reframing, buku keduanya ini lebih mudah saya praktekkan secara nyata.

Intinya, istilah "motivasi" yang kita tau sumber segala hal itu sebetulnya bisa dikenali dari ciri-cirinya. Secara garis besar ciri-ciri tsb dibedakan dari:

1. Arah motivasinya: apakah menjauhi (-pain) atau mendekati (-pleasure)

2. Sumber motivasinya: apakah internal atau eksternal

3. Dasar motivasinya: apakah opsional atau prosedural

4. Faktor motivasinya: apakah persamaan, persamaan dengan kekecualian, atau perbedaan

5. Tingkat motivasinya: apakah proaktif atau reaktif

Setiap orang punya ciri yang berbeda dari orang lain. Jadi, perlakuan yang bagi si A akan memotivasi bisa jadi bagi si B justru sebaliknya. Contohnya, bagi orang yang bertipe menjauhi, tindakan atasan yang memotivasinya dengan cara mengiming-imingi kenaikan gaji (atau promosi jabatan), tidak akan berpengaruh banyak bagi ybs (meskipun bagi orang yang bertipe mendekati hal tsb akan efektif). Atau pujian. Ternyata tidak semua orang termotivasi dengan dipuji. Untuk orang yang bertipe internal, pujian (apalagi di depan umum) mungkin malah membuat ybs risih.

Menurut saya buku ini bagus buat para atasan/manager, sekaligus bagus juga buat semua orang untuk lebih mengenal diri sendiri. Bagi saya pribadi, membaca buku ini sangat mengasyikkan. Di setiap bab saya bermain dengan diri saya sendiri, apakah saya internal? eksternal? menjauhi? mendekati? dst.

Bukunya sendiri mudah dibaca. Selain tidak tebal, teorinya disajikan dengan contoh-contoh dan gaya percakapan, jadi seolah kita sedang mengikuti seminar Bpk Wiwoho secara langsung.

Judul buku: Profil, Kunci Menuju Puncak Motivasi karangan R.H. Wiwoho.

May 19, 2008

Opera Cinta Sang Primadona

Membaca novel ini membuat saya ingat pelajaran sastra waktu di sekolah. Soalnya banyak sekali adegan menyanyi, dan lirik nyanyiannya itu ditulis berupa puisi/pantun, asli dengan ejaan lama. Agak membosankan sih, jadi saya selalu meloncati bagian ini. :)

Setting-nya terbentang dari tahun 1925 sampai tahun 1976, dari Batavia - Surabaya - Singapore - Bangkok - Bombay - Inggris - New York - dan berakhir di sebuah desa kecil di Bukit Panenjo (saya lupa itu di daerah mana, kalau gak salah Cirebon). Cukup asik juga mengintip bagaimana kondisi Jakarta jaman baheula di novel ini. Beberapa di antaranya ada Pasar Gambir, Kali Tjiliwoeng, dan daerah Paal Merah (sekarang Palmerah) yang di jaman itu terkenal sebagai tempat "hiburan malam" yang cukup ngetop.

Novel ini mengangkat perjalanan hidup seorang anak asuh, Siti Kedjora, yang oleh orangtuanya diserahkan ke sebuah grup opera karena mereka tidak kuat menanggung hidup 9 orang anak. Dari sekedar menjadi pelayan di grup opera tersebut, setapak-demi-setapak Kedjora meningkat menjadi primadona panggung baru menggantikan primadona yang lama.

Seperti dunia panggung di manapun, perjalanan karir Kedjora tidak luput dari intrik, skandal, dan tragedi. Dia harus menghadapi kecemburuan sang primadona lama (yang notabene adalah istri pemilik grup yang mengasuhnya), disantet, diperebutkan oleh grup lain, tapi juga dielu-elukan oleh para penggemar.

Berlawanan dengan kesuksesan karirnya, Kedjora tidak seberuntung itu dalam kehidupan cintanya. Pria yang menjadi cinta pertamanya ternyata lelaki hidung belang yang tidak berani berkomitmen. Dan kemudian dia terpaksa menerima pernikahan dengan lelaki lain yang selama ini dianggapnya sebagai abang.

Novel ini ditutup dengan happy ending, dengan pesan moral yaitu betapa sering kita tidak menyadari bahwa apa yang kita kejar mati-matian seumur hidup sebetulnya tidak berada jauh-jauh amat, bahkan seringkali sudah kita miliki namun kurang kita hargai.

Buat penggemar sastra, pasti akan menyukai buku ini!!

Judul buku: Primadona - karya N. Riantiarno.


May 14, 2008

Rara Mendut - Sebuah Trilogi

Membaca novel super tebal ini *trilogi yang dibundel jadi 1 buku*, kalau bukan karena gaya berceritanya yang menarik, pasti lama baru selesai.

Novel ini mengisahkan riwayat hidup Rara Mendut yang sudah kita kenal dari cerita-cerita rakyat masa kecil. Namun tidak berhenti di situ saja. Selain mengupas lebih dalam latar belakang hidup si Mendut sendiri (anak pantai yang berjiwa bebas) sebelum menjadi Den Rara, novel ini juga mengangkat perang batin yang dialami sang tokoh antagonis yaitu Tumenggung Wiraguna. Jangan dikira bahwa sang Tumenggung membunuh Mendut dan Pranacitra begitu saja dengan darah dingin. Sebetulnya sinopsis yang ditulis di bagian belakang buku agak menyesatkan, karena sepanjang buku ini tidak ada satupun adegan di mana Rara Mendut dipaksa melayani nafsu sang Tumenggung.

Pahlawan dalam novel ini juga bukan sang Pranacitra, melainkan sang Mendut sendiri. Semangat dan roh Rara Mendut selanjutnya sangat mempengaruhi jalan hidup orang-orang yang sempat berinteraksi dengan dia. Dari mulai Genduk Duku sang dayang kecil, Ni Semangka sang mbok emban, Tumenggung Wiraguna sendiri, dan juga Putri Arumardi (salah satu selir Wiraguna yang menjadi sahabat Mendut).

Rama Mangun dengan piawai membawa pembacanya meresapi bagaimana perasaan orang-orang di sekitar tokoh sentral Mendut-Pranacitra-Wiraguna. Siapa orang tua Mendut? Siapa ibu Pranacitra? Bagaimana nasib mereka setelah anak-anak mereka meninggal? Bagaimana perasaan Nyi Ajeng istri pertama sang Tumenggung menghadapi puber kesekian suaminya ini? Bencikah dia kepada Rara Mendut? Cemburukah dia? Marahkah kepada suaminya? Apa yang Nyi Ajeng pikirkan ketika dia tau bahwa Rara Mendut yang sangat didambakan suaminya itu merencanakan pelarian dengan Pranacitra? Seperti apa perasaan Arumardi sewaktu Rara Mendut curhat tentang perasaannya? Bagaimanapun Wiraguna itu toh suaminya. Kepada siapa kesetiaannya akan diberikan? Suami atau sahabat?

Setelah era Mendut-Pranacitra, selanjutnya giliran sang dayang Genduk Duku yang memberi pengaruh kepada orang-orang di sekitarnya. Bagaimana masa depan Genduk Duku terkait erat dengan masa lalu Rara Mendut melalui tokoh Mas Slamet, teman masa kecil Mendut. Bagaimana watak Genduk Duku kemudian berkembang dan menjadi tokoh sentral berikutnya dan bersinggungan dengan putra mahkota Mataram di jaman itu. Di bagian kedua dari trilogi ini Rama Mangun lebih leluasa mengeksplor kisah hidup teman-teman Mendut: Duku, Slamet, Arumardi, dan Bendara Pahitmadu (kakak kandung Wiraguna) - juga musuh-musuhnya. Kemudian berlanjut sampai generasi Lusi Lindri (anak Genduk Duku) dan anak-anak Lusi Lindri dan Mas Peparing.

Meskipun novel ini bertaburan tokoh, tapi memahaminya tidak sulit karena benang merah yang mengaitkan semua tokohnya dirancang dan dan disajikan dengan apik oleh sang pengarang. Seandainya buku pelajaran sejarah kita dulu dibuat seperti ini ya. :)

Oya, yang paling saya suka dari novel ini adalah celetukan-celetukan kental khas Jawa yang seringkali lucu, mbanyol, kadang saru. Seperti:

"Cah-ayu-yen-disawang-marakake-kiu."
"Lho-lho-lho-mata-laler-mesti-mlolo!"
"O, Cah ayu, Cah ayu aja ngguyu, engko kowe dicokot yuyu!"
"Rung disurung wis gumandul. Ning gumandul sapa sing mbandul."

Hampir di setiap halaman (tapi yang paling banyak ada di bagian akhir buku, setelah muncul tokoh Pangeran Selarong), Anda bakal ketemu ungkapan-ungkapan yang njawa banget! Gaya bahasa di bagian percakapan juga hidup sekali sehingga saya seolah-olah bukan sedang membaca, tapi mendengarkan langsung orang ngomong Jawa lengkap dengan logatnya. Oya, gak usah khawatir gak ngerti, terjemahan kalimatnya disediakan kok!

Novel ini boleh dibilang campuran sejarah, roman, dan filsafat Jawa yang dikemas menjadi bacaan yang sarat makna. Highly recommended!