May 14, 2008

Rara Mendut - Sebuah Trilogi

Membaca novel super tebal ini *trilogi yang dibundel jadi 1 buku*, kalau bukan karena gaya berceritanya yang menarik, pasti lama baru selesai.

Novel ini mengisahkan riwayat hidup Rara Mendut yang sudah kita kenal dari cerita-cerita rakyat masa kecil. Namun tidak berhenti di situ saja. Selain mengupas lebih dalam latar belakang hidup si Mendut sendiri (anak pantai yang berjiwa bebas) sebelum menjadi Den Rara, novel ini juga mengangkat perang batin yang dialami sang tokoh antagonis yaitu Tumenggung Wiraguna. Jangan dikira bahwa sang Tumenggung membunuh Mendut dan Pranacitra begitu saja dengan darah dingin. Sebetulnya sinopsis yang ditulis di bagian belakang buku agak menyesatkan, karena sepanjang buku ini tidak ada satupun adegan di mana Rara Mendut dipaksa melayani nafsu sang Tumenggung.

Pahlawan dalam novel ini juga bukan sang Pranacitra, melainkan sang Mendut sendiri. Semangat dan roh Rara Mendut selanjutnya sangat mempengaruhi jalan hidup orang-orang yang sempat berinteraksi dengan dia. Dari mulai Genduk Duku sang dayang kecil, Ni Semangka sang mbok emban, Tumenggung Wiraguna sendiri, dan juga Putri Arumardi (salah satu selir Wiraguna yang menjadi sahabat Mendut).

Rama Mangun dengan piawai membawa pembacanya meresapi bagaimana perasaan orang-orang di sekitar tokoh sentral Mendut-Pranacitra-Wiraguna. Siapa orang tua Mendut? Siapa ibu Pranacitra? Bagaimana nasib mereka setelah anak-anak mereka meninggal? Bagaimana perasaan Nyi Ajeng istri pertama sang Tumenggung menghadapi puber kesekian suaminya ini? Bencikah dia kepada Rara Mendut? Cemburukah dia? Marahkah kepada suaminya? Apa yang Nyi Ajeng pikirkan ketika dia tau bahwa Rara Mendut yang sangat didambakan suaminya itu merencanakan pelarian dengan Pranacitra? Seperti apa perasaan Arumardi sewaktu Rara Mendut curhat tentang perasaannya? Bagaimanapun Wiraguna itu toh suaminya. Kepada siapa kesetiaannya akan diberikan? Suami atau sahabat?

Setelah era Mendut-Pranacitra, selanjutnya giliran sang dayang Genduk Duku yang memberi pengaruh kepada orang-orang di sekitarnya. Bagaimana masa depan Genduk Duku terkait erat dengan masa lalu Rara Mendut melalui tokoh Mas Slamet, teman masa kecil Mendut. Bagaimana watak Genduk Duku kemudian berkembang dan menjadi tokoh sentral berikutnya dan bersinggungan dengan putra mahkota Mataram di jaman itu. Di bagian kedua dari trilogi ini Rama Mangun lebih leluasa mengeksplor kisah hidup teman-teman Mendut: Duku, Slamet, Arumardi, dan Bendara Pahitmadu (kakak kandung Wiraguna) - juga musuh-musuhnya. Kemudian berlanjut sampai generasi Lusi Lindri (anak Genduk Duku) dan anak-anak Lusi Lindri dan Mas Peparing.

Meskipun novel ini bertaburan tokoh, tapi memahaminya tidak sulit karena benang merah yang mengaitkan semua tokohnya dirancang dan dan disajikan dengan apik oleh sang pengarang. Seandainya buku pelajaran sejarah kita dulu dibuat seperti ini ya. :)

Oya, yang paling saya suka dari novel ini adalah celetukan-celetukan kental khas Jawa yang seringkali lucu, mbanyol, kadang saru. Seperti:

"Cah-ayu-yen-disawang-marakake-kiu."
"Lho-lho-lho-mata-laler-mesti-mlolo!"
"O, Cah ayu, Cah ayu aja ngguyu, engko kowe dicokot yuyu!"
"Rung disurung wis gumandul. Ning gumandul sapa sing mbandul."

Hampir di setiap halaman (tapi yang paling banyak ada di bagian akhir buku, setelah muncul tokoh Pangeran Selarong), Anda bakal ketemu ungkapan-ungkapan yang njawa banget! Gaya bahasa di bagian percakapan juga hidup sekali sehingga saya seolah-olah bukan sedang membaca, tapi mendengarkan langsung orang ngomong Jawa lengkap dengan logatnya. Oya, gak usah khawatir gak ngerti, terjemahan kalimatnya disediakan kok!

Novel ini boleh dibilang campuran sejarah, roman, dan filsafat Jawa yang dikemas menjadi bacaan yang sarat makna. Highly recommended!


No comments: